Di bangku sekolah anak hanya belajar sangat sedikit tentang bagaimana hidup di dunia yang sebenarnya. Di bangku sekolah anak tidak lebih dari sekedar “nyantri” dengan mencoba menjauhkan diri dari segala urusan duniawi. Padahal nyata-nyata tujuan dari 2 lembaga pendidikan tersebut adalah berbeda. Di sekolah anak dipenjara oleh dinding-dinding kelas berukuran 7 x 7 meter dengan kegiatan yang monoton untuk mendengarkan guru dengan sekali-sekali ikut bicara pada saat ditanya oleh gurunya. Tidak ada proses belajar mengatasi permasalahan yang dia hadapi sehari-hari di rumah. Tidak ada lagi proses belajar untuk menyongsong masa depan dalam persaingan kerja dan sebagainya.
Itulah sekilas yang digambarkan oleh kondisi sekolah-sekolah yang masih menerapkan konsep pembelajaran tradisional yang hanya mengejar hasil Ujian Nasional. Para guru tidak salah, sekolah juga tidak salah. Namun barangkali sistem dan budaya masyarakat yang salah.
Sistem menghendaki Ujian Nasional sebagai standar nasional kualitas pendidikan di seluruh wilayah. Padahal Ujian Nasional tidak dapat menilai kompetensi siswa secara nyata, selain hanya kemampuan mengingat saja. Budaya masyarakat juga sudah terlanjur keliru mensikapi dalam menilai kualitas suatu sekolah. Menerutnya sekolah yang berkualitas adalah sekolah yang mampu menghasilkan siswa-siswi yang bernilai Ujian Nasional tinggi. Selain itu jika sekolah dipercaya untuk menentukan ujian sendiri juga belum bisa dipercaya tingkat kesahihannya. Apakah mereka akan obyektif menilai hasil kerja mereka sendiri dalam membelajarkan siswa?
Sebuah permasalahan yang sangat sulit untuk di jawab. (sunartombs.wordpress.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar